TEACHING METHODS INFO

Minggu, 27 April 2008

Model Guru Ideal dalam Novel


PROFESI guru yang kini dipandang sebelah mata. Padahal, guru punya tugas berat, mengajar sekaligus juga mendidik anak bangsa. Guru sering dihadapkan pada persoalan antara materi dan dedikasi, sehingga mencari model guru ideal sangat sulit di zaman ini. Untuk itu ada baiknya menoleh karya sastra yang mengangkat tokoh guru dalam novel.

Guru sebagai tokoh utama dalam novel-novel Indonesia, bukanlah merupakan barang baru. Malahan dalam novel-novel tahun 1970-an sosok guru masih sering muncul. Misalnya dalam novel "Pergolakan" oleh Wildan Yatim, novel "Arus" oleh Aspar, "Sang Guru" karya Gerson Poyk dan "Pertemuan Dua Hati" karya Nh. Dini. Profil guru yang ditampilkan keempat pengarang ini tentu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada kehidupan guru sebagai orang tak berpunya, hidup pas-pasan karena gaji tak seberapa.

Perbedaan keempat novel itu terletak pada peranan yang dimainkan tokoh guru. Dalam novel Arus, sang guru tampil sebagai tokoh yang diombang-ambingkan, ke sana ke mari, ibarat orang yang terbawa arus. Tokoh guru "Pergolakan" ditampilkan sebagai pembawa pemikiran-pemikiran baru di kalangan orang kampung, sedangkan dalam "Sang Guru" tokoh guru itu sebagai seorang petualang, dan jarang terlibat dalam proses belajar mengajar di sekolah. Berbeda dengan "Pertemuan Dua Hati", justru peran guru di sekolah dan di luar sekolah sangat menonjol.

Dalam "Pertemuan Dua Hati", "Arus" dan "Pergolakan", semuanya menampilkan tokoh guru sekolah dasar, sedangkan "Sang Guru" menceritakan tokoh guru SMP. Membandingkan keempat novel yang memiliki tokoh utama sama tentu sangat menarik kalau dikaji berdasarkan teori sastra bandingan. Namun, karena kesempatan di media sangat terbatas, maka pembicaraan akan difokuskan untuk menemukan model guru ideal. Di antara keempat novel ini, akhirnya pilihan jatuh pada "Pertemuan Dua Hati". Novel lainnya itu juga tak kalah menariknya ditinjau dari sudut yang perbeda.

Ringkasan Cerita
Dalam "Pertemuan Dua Hati", dikisahkan seorang guru SD (Bu Suci) menghadapi tugas baru di Semarang karena mengikuti suaminya yang dimutasikan. Di tempat baru ini Bu Suci tidak kerasan menganggur, tidak lama kemudian ia melamar jadi guru lagi, dan diterima. Dalam tugas baru ini, Bu Suci menghadapi persoalan di kelas. Salah seorang murid, Waskito, sangat nakal, sering bolos dan suka membangkang. Anak ini memang terkenal di sekolah itu sebagai anak "sukar diatur".

Suatu hari, Bu Suci masuk kelas, mengabsen semua murid. Ternyata Waskito tidak masuk. Tetapi siswa yang lain tidak berani menjawabnya, setelah beberapa kali Bu Suci bertanya. Ia mengetahui bahwa Waskito memang sering bolos sekolah, akhirnya Bu Suci terpanggil hatinya untuk mengatasi masalah Waskito. Berdasarkan data yang diperolehnya, dapat disimpulkan bahwa, kenakalan Waskito disebabkan kurangnya perhatian orang tuanya, kawan-kawan sampai kepada gurunya yang tidak pernah mengacuhkan Waskito.

Akhirnya Bu Suci mengatur siasat untuk menghadapi Waskito dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Anehnya, niat Bu Suci ini kurang mendapat simpati dari rekan-rekan guru di sekolah tersebut. Guru-guru yang lain tadi berpendapat bahwa anak macam Waskito tidak mungkin bisa diperbaiki kelakuannya. Menurut mereka, lebih baik dikeluarkan dari sekolah. Menghadapi masalah itu, Bu Suci meminta waktu kepada kepala sekolah selama tiga bulan untuk menangani Waskito. Kalau dalam tiga bulan tidak berhasil, Bu Suci berjanji kepada kepala sekolah dan guru lainnya, ia rela dikeluarkan sebagai guru.

Bu Suci mengadakan pendekatan dengan berbagai cara, melebihi anak kandungnya sendiri. Ia mendatangi rumah Waskito, sebaliknya Waskito diajak ke rumah Bu Suci untuk bermain bersama anaknya. Bu Suci juga mengunjungi kakek dan nenek Waskito, karena orang tuanya ada di luar negeri. Sekali waktu, Bu Suci mengajak Waskito memancing ke sungai. Anak yang kurang mendapat perhatian ini sangat senang, karena makan ikan hasil jerih payahnya sendiri. Waskito dibuatkan kolam renang di halaman rumahnya, tetapi ia lebih tertarik mandi di sungai dengan air kotor karena dapat bermain dengan teman-temannya.

Tak sampai tiga bulan, perubahan besar telah terjadi pada diri Waskito. Ia menjadi anak yang baik. Bahkan ketika diadakan lomba kerja tangan antar siswa di sekolahnya, Waskito meraih juara pertama. Semua itu berkat bimbingan Bu Suci yang penuh kasih sayang dalam mendidiknya. Bu Suci merasa sangat berbahagia, belum pernah ia menghadapi tantangan begitu besar dan berhasil mengatasinya. Kebahagiaan itu tidak ternilai harganya, apalagi dibandingkan dengan gaji seorang guru.

Bukan Khayalan
Walaupun guru sebagai tokoh dalam cerita novel, tetapi sosok Bu Suci itu ternyata ada di dalam dunia kenyataan. Hal ini diakui pengarang Nh. Dini, bahwa Bu Suci itu adalah teman baiknya. Menurut pengakuan Nh. Dini dalam suratnya tertanggal 17 April 1996, semua kisah dalam "Pertemuan Dua Hati" adalah kejadian sesungguhnya. Memang, demikian sikap guru yang diharapkan seperti Bu Suci. Ia sangat tertarik dengan cerita temannya itu, sehingga ditulisnya dalam sebuah novel.

Judul "Pertemuan Dua Hati" hampir saja membuat pembaca terkecoh. Sepintas dengan judul itu, orang akan segera menafsirkan bahwa cerita itu akan berkisah tentang percintaan muda-mudi, seperti layaknya sebuah novel populer. Namun kesan itu sangat keliru karena yang dimaksud pengarangnya adalah pertemuan dua hati antara si guru dengan murid. Novel yang digarap berdasarkan kisah nyata ini, merupakan ciri khas dari Nh. Dini setelah sukses dengan novel "Pada Sebuah Kapal", "Hati yang Damai" dan "Namaku Hiroko".

Di tengah hiruk pikuk masalah pendidikan karena dekadensi moral, sosok Bu Suci dapat dijadikan cermin. Profil guru seperti ini banyak diidamkan oleh murid. Bu Suci, tokoh fakta dalam dunia fiksi ini, sadar kalau menjadi seorang guru bukan hanya mengajar di depan kelas saja. Tetapi harus juga menyelami sejauh mungkin perkembangan anak didiknya, pergaulan anak didik serta latar belakang kehidupan keluarganya. Bagi para guru dan terutama orang tua, Bu Suci yang hanya guru SD tamatan SPG, telah membuka mata kita, apa dan bagaimana sesungguhnya profesi guru.

Artikel by: I Nyoman Suaka,
IKIP Saraswati Tabanan balipost.co.id

Bagaimana Menjadi Guru Ideal..?


Dalam perjalanan bangsa, pendidikan merupakan modal dasar pembangunan yang akan menentukan arah perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dan negara. Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas guru, dengan berbagai cara salah satunya adalah sertifikasi guru. Melalui sertifikasi ini diharapkan para guru dapat bertindak secara profesional? Sebenarnya apakah seorang guru itu harus profesional?. Dari kata profesional ini, seolah-olah guru yang bersertifikasi adalah guru yang benar-benar mumpuni dan dapat ditiru oleh anak didiknya segala tindakannya, sesuai dengan istilah jawa, guru adalah digugu lan ditiru (segala perkataannya selalu diperhatikan anak dan tingkahlakunya akan ditiru anak).

Ketika seorang guru berkata pada anak didiknya, “Anak-anak kalau datang itu jangan terlambat, kalau ingin sukses kalian harus disiplin, tepat waktu!” “ya pak guru” jawab muridnya serentak. Guru juga memberi petuah lagi “Anak-anak, kalau ada sampah berserakkan maka kita harus meletakkan pada tempatnya, yaitu dimana?” tempat sampah pak, jawab anak-anak dengan penuh semangat. Bagus, bagus… “jawab guru”. Hal ini membutktikan bahwa semua perkataan gurunya selalu diiyakan siswanya.

Keesokkan harinya guru datang pukul 07.10 menit. Anak-anak bagaimana pelajaran hari ini apa kalian siap belajar? Siap, karena dari tadi kita menunggu” jawab muridnya. Bagus kalian sangat tertib dan disiplin. Puji gurunya. Kemudian bel istirahat berbunyi tet… tet… anak-anak boleh istirahat” kata guru. Jangan lupa ya! Kalau ada sampah diambil dan diletakkan pada tempatnya. Perintah gurunya. Waktu bermain anak-anak melihat gurunya tadi berjalan dengan santai dan hanya melihat dengan cuek beberapa bungkus makanan yang berceceran. Dengan santai guru masuk ruangan dan membolak-balik buku pelajaran yang akan disampaikan pada muridnya.

Inilah contoh atau gambaran bentuk sertifikasi yang dilakukan pemerintah kepada guru. Karena, itu saya prihatin melihat para guru yang rata-rata mengedepankan intelektual dari pada hati yang berbicara. Mengedepankan ceramahnya dan tutur pituturnya dari pada perbuatan yang dilakukannya. Ketika musim sertifikasi guru berusaha menjadi seorang pembohong dan pendusta. Kenapa tidak semua kumpulan makalah difoto copy, piagam dipalsukan. Hanya mengejar selembar kertas bergambar soeharto atau yang lain. Naifnya seorang guru bersertifikasi. Untuk itu perlu disadari sesungguhnya guru ideal yang didambakan seorang anak adalah keteladanan dan perlu contoh, serta bukti dimana apa yang dikatakan pasti dilakukannya.

Saya pribadi merasa risih dengan kejadian yang mencorang nama baik guru, seyogyanyalah kita kembali ke khitah kita sebagai orang yang tahu malu, dan dengan mengedepankan kejujuran, serta suritauladan. Guru teladan yaitu ketika ia menyuruh anak didiknya untuk disiplin maka ia terlebih dahulu belajar untuk disiplin, ketika menyuruh anak didiknya jika ada sampah berserakkan diambil, maka terlebih dahulu kita membersihkannya, dan sebaginya. Jadi hendaknya guru selalu mengedepankan perbuatan, kemudian menyampaikan kepada anak didiknya. Karena anak sejatinya selalu melihat, dan mencotoh apa yang dilakukan seorang guru. Tetapi jika hanya mendengar saja pasti yang didengarnya itu akan terlintas sesaat kemudian musnah dihilangkan oleh perbuatan guru itu sendiri. Karena kunci keberhasilan seorang guru ada pada perilaku dan perkataannya, dan bukan karena lulus sertifikasi guru

Untuk itu para guru sebaiknya cobalah berpikir, bertindak sesuai dengan hati nurani, dan cobalah untuk malu kepada siswa. Jangan hanya menganggap siswa itu sebagai objek yang pasif, dan anggaplah siswa itu sebagai orang yang selalu memperhatikan dan mengkritik kita. Ketika apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan ucapan kita maka hendaknya selalu mawas diri dan berusaha memperbaikinya…Sumber:aflah.wordpress.com)

Tentang Guru Ideal:Komentar Masyarakat


  1. ikhsya

    Menurut pendapat saya guru ideal itu mempunyai ciri-ciri
    :jujur,berwibawa,tanggung jawab,percaya diri,solidaritas,kreatif dan berdedikasi tinggi.mudah-mudahan puas dengan pendapat saya

  2. amnugroho-yog

    Guru ideal? itu topik ysng bagus untuk dibicarakan. Kita ndak usah muluk-muluk tentang kriteria apa ideal itu. Idealnya si A belum tentu sama dengan ideal si B. jadi dapat dikatakan ideal tergantung dari posisinya masing-masing. Akan tetapi yang namanya ideal ada standarnya. Seperti motor yang bagus itu idealnya bagaimana? untuk masalah guru nich, kita ikuti aja kata Ki Hajar Dewantara ; Ing ngarso sung tuladha, Ing madya bangun karso, Tut wuri handayani. Tiga hal itu bila dijabarkan akan membawa arahan kita dalam mencapai titik temu memahami seorang guru.

  3. amarief-kp

    Saran/pendapat pertama dan kedua sangat bagus, yakni dengan ditandai adanya tipologi atau karakteristik kepribadian tertentu yang dimiliki guru. Memang secara empirik, idealitas guru tergantung dari konteks, bahkan tergantung dari bagaimana para siswa menilai gurunya karena siswalah user utama yang bisa menilai akan aneka kelebihan yang dimiliki guru. Akan tetapi ada standar normatif. Coba lihat pada UU no 14/2005 mengenai 4 syarat kompetensi guru, serta lihat rumusan dari komisi khusus ditjend Dikti tentang sosok utuh guru profesional. Di sana tertera yakni guru profesional itu: (1) memahami peserta didik, (2) memiliki kemampuan pembelajaran yang mendidik, (3) menguasai bidang studi, dan (4) mampu mengembangkan kemapuan profesionalnya secara berlenajutan. Persoalannya adalah sudahkan kita memilikihal-hal tersebut? Maka menjadi PR kita bersama bahwa menjadi guru adalah adanya kewajiban untuk selalu meningkatkan mutu diri kita secara berkelanjutan menuju pada sosok guru yang diidealkan oleh semua pihak: sisiwa, teman sesama, orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah.

  4. yanto

    Kita adalah makhluk sosial, jadi di manapun dan kapanpun kita berada harus mampu menyesuaikan diri
    sebagai masyarakat yang peka terhadap keadaan. Namun demikian kita harus tetap mengedepankan perilaku yang jujur, adil, bijaksana, kharismatik, dan selalu berusaha menjadi tauladan untuk keluarga terutama dan masyarakat pada umumnya.Dan jangan lupa guru harus dapat digugu dan ditiru,khususnya untuk anak didik kita secara umum warga sekolah di mana tempat kita beraktifitas serta loyal terhadap pimpinan kita (Dalam batas-batas kewajaran).
    Terima kasih dan terima kasih… wassalam.

  5. hera

    guru ideal adalah guru yang menjadi panutan baik di sekolah maupun di masyarakat,berkeinginan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam berbagai hal yang positif terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

  6. Sri Untari W

    bagi saya guru yang ideal itu guru yang diterima, disayang, dan selalu ditunggu-tunggu muridnya, murid mengerti dan lebih-lebih paham apa yang kita berikan, dan ujung-ujungnya nilai yang dihasilkan bagus. Untuk menjadi yang seperti ini saja saya pikir susah-susah gampang. selama ini saya merasa mengajar sudah “setengah mati”, sejelas-jelasnya menerangkan dan mengarahkan, sebisa mungkin mempratekkan “10 kriteria guru yang saya(siswa) senangi” tapi ternyata hasil nilainya……(masyarakat kita masih mengidolakan nilai) Jadi menurut saya guru ideal itu tergantung tempat, anak didik, dan masyarakat serta hasil nilai yang diperoleh.

  7. EDDY SOEJANTO

    Guru ideal adalah guru yang profesional, bermartabat, dan sejahtera.

  8. Novi Santiani

    Menurut saya guru yang ideal itu adalah guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi terhadap tugasnya sebagai guru, dimana guru tidak hanya sekedar mentransfer materi pelajaran,tetapi guru yang ideal itu tau bagaimana cara membuat siswa-siswanya mengerti terhadap apa yang disampaikan. selain itu, guru yang ideal itu adalah sosok yang bisa menjadi teman bagi para siswanya,yang dapat memahami kondisi siswa-siswanya, sehingga antara guru dan siswa terjalin hubungan yang baik. Dengan hubungan yang baik,otomatis akan tercipta komunikasi yang baik antara siswa dan guru sehingga guru dapat lebih mudah menyelami dunia siswa untuk memberikan pengajaran yang ideal dan dapat mendidik para siswanya untuk menjadi yang lebih baik, karena tugas guru tidak hanya mengajar,tetapi juga mendidik(Sumber: Klinik Pembelajaran.com)

Pendapat Anak Tentang Guru yang Baik


Program Pendidikan dan Pengembangan Anak (MOE-UNICEF 2001-2005 China) mempromosikan lingkungan ramah anak untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan semua anak usia sekolah dapat tumbuh dan belajar di lingkungan yang aman, ramah dan tidak diskriminatif. Guru adalah faktor kunci bagi pewujudan sekolah ramah anak (SRA) dengan cara membantu meningkatkan minat anak-anak dalam pembelajaran, partisipasi dan pengungkapan pendapat.

“Ibu guru Gao seperti ibu bagiku. Dia mendengar semua masalah dan keluh kesah kami serta membantu kami menyelesaikan masalah” Zhang Qi, siswa kelas 4

Akademi Ilmu Sains Beijing mengundang anak-anak China untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang guru ideal. 4.000 lebih anak-anak dari seluruh China telah memberi tanggapan. Lewat kata-kata dan gambar, pesan anak-anak dengan jelas menggemakan semangat Konvensi PBB tentang Hak Anak. Mungkin inilah waktunya bagi orang dewasa untuk mulai mendengar anak-anak, mendengar apa kata mereka mengenai hal-hal yang mempengaruhi mereka.

“Guru Shan selalu melucu dalam kelas menulis kami dan membuat kami sangat tertarik dalam pelajaran itu. Tanpa saya sadari, saya jadi sangat suka menulis dan secara bertahap, saya mempelajari beberapa trik untuk menulis dengan baik.”
Shi Yujing, Kelas 5

Anak-anak di Cina, melalui tulisan dan gambar mereka, mengungkapkan bahwa mereka ingin para guru menghormati harga diri siswa, sensitif terhadap kondisi emosi mereka, memberi kebebasan mengekspresikan diri dan bersikap adil pada semua anak apapun latar belakang, gender, kemampuan, dan ciri-ciri individual lainnya. Sebagian besar anak memimpikan guru-guru yang penyayang dan perhatian!

Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri. Pemerintah, pakar dan orang-orang yang berkompeten serta masyarakat dan media memiliki haparapan-harapan mereka masing-masing. Akan tetapi, belum banyak orang tanya kepada anak-anak sebagai penerima layanan pendidikan apa pendapat mereka mengenai hal ini. Pada kenyataannya, anak-anak merupakan alasan munculnya profesi guru dan melalui mereka pulalah profesi ini mendapat nilai yang berharga. Buku yang berisi pendapat anak dalam cerita-cerita dan gambar-gambar dapat berguna bagi guru dan pelatih guru sebagai katalis refleksi diri. Buku tersebut juga dapat digunakan dalam kelompok-kelompok belajar untuk memotivasi dan membantu para guru bersama-sama merefleksikan diri dan mencari cara mencapai standar yang diinginkan anak-anak pada mereka. Sangat penting bahwa ungkapan jujur anak-anak menginspirasi dan memotivasi para guru untuk mengembangkan tingkat tanggapan guru pada kebutuhan siswa.

“Dia memperlakukan tiap siswa dengan setara. Dalam kebaikan hatinya, dia tidak pernah memihak. Sebagai murid, ini adalah hal yang paling berharga tentang guru… Dalam kelas guru Chen, kami merasa santai dan hidup (bersemangat). Dia selalu “tanpa sengaja” mengajukan pertanyaan atau membuat kesalahan agar kami dapat membetulkannya. Jika kami mengatakan sesuatu yang salah, tidak menyalahkan kami. Dia bahkan akan berkata sambil tersenyum: “Kesalahan Bagus! Kesalahan membantu kami menemukan masalah-masalah". Tidak seberapa lama kemudian, bahkan siswa yang paling pemalu mau mengangkat tangan dan menjawab pertanyaannya.” Tang Yiyi, kelas 4

Di Pakistan, sebuah ulasan mengenai “apa yang membuat seorang guru dinilai baik” juga dilakukan dengan bantuan Save the Children-UK (2001). Tidak hanya murid, tapi juga orangtua dan para guru juga ditanyai pendapat mereka tentang seorang guru yang baik. Ulasan itu menunjukkan bahwa guru yang baik merupakan hasil kombinasi sejumlah faktor, termasuk pendidikan dan pelatihan, kompetensi dan pengawasan serta dukungan kepala sekolah dan guru.

“Guru kami tahu nama tiap anak”
Anak laki-laki dari Peshawar

“Dia menjelaskan pelajaran di papan tulis. Jika seseorang tidak paham, dia akan mendudukan anak itu disebelahnya dan menjelaskan lagi pelajaran itu.”
Anak perempuan dari Kasur

“Dia menghormati anak-anak, dia selalu memanggil mereka ‘aap’” (‘aap’ ~ bentuk sopan ‘kamu’)
Anak perempuan dari Lahore

“Guru kami selalu memperhatikan tiap anak ketika mengajar.”
Anak laki-laki dari Haripur

Guru yang mampu menangani hukuman dan manajemen kelas dalam cara yang positif sering disebut sebagai karakteristik guru yang baik. Manajemen kelas mengacu pada perilaku guru yang memfasilitasi belajar-mengajar. Manajemen kelas ini sangat penting terutama dalam penanganan kelas besar, pengajaran lebih dari 1 kelas secara simultan, berhubungan dengan anak-anak yang pandai, nakal, pemalu dan lemah. ‘Bagaimana guru yang baik itu’ menggunakan wawancara, diskusi kelompok, bermain peran dan gambar dalam mengumpulkan pendapat anak-anak tentang guru.

“Saya mengajar mata pelajaran yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda-beda pula. Misalnya, saya mengajar bahasa Urdu seperti cerita. Pertama-tama, saya membaca lalu anak-anak memerankan pelajaran. Saya memberi tiap anak kesempatan membaca tiap hari, dan puisi-puisi dilagukan.”
Guru wanita Peshawar

Ulasan tersebut menunjukkan dengan jelas beberapa karakteristik guru yang baik. Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.

Diadaptasi dari “Anak-anak menentukan kualitas yang menjadikan seorang guru baik” (UNICEF, Cina, 2004) dan “Apa yang menjadikan seorang guru baik” (Save the Children UK, Pakistan, 2001).(Sumber:idp-europe.org)

Jumat, 18 Januari 2008

The importance of understanding organizational culture

An Article by Debbie Schachter

When I was an MBA student, as part of a management course I had the opportunity to conduct a "culture assessment" at the organization where I was working. The organization was somewhat new to me--I had been hired as a senior manager only a year before--and the ability to quantify and analyze the organizational culture was a new concept to me.

As an employee in any type of organization can attest, organizational culture is as prevalent and as varied as individuals themselves. Organizational culture is enduring and complex, and may have both a positive and a negative effect on the staff and the workplace. In many ways culture will determine the survival of an organization over the long term, especially in volatile industries.

Cultures that can be a liability to an organization include those that create barriers to change, create barriers to diversity or barriers to mergers and acquisitions. (Stephen P. Robbins. Organizational Behavior, 8th ed., 602-603.)

Understanding the organizational culture can help you to understand why change does not take place, or why a project fails. It will also help you to determine where to strive to make changes to the culture.

As managers and library leaders, why do we need to get a sense of the prevailing organizational culture? It is essential to understand the organizational culture if you want to make changes to how work is done, what type of work is being done, or at the broadest level, to affect the organization's standing in its industry. Understanding the culture and, as required, changing it, can mean the difference between attracting and retaining good employees and driving away the best employees with an environment that doesn't encourage, challenge, or reward them.

The organizational culture assessment that I participated in didn't provide any surprises regarding the existing culture--most people with any level of sensitivity can get a sense of what type of culture is prevalent in an organization. What was surprising were the results from the survey to determine what type of culture staff would prefer to see the organization develop.

As background, the organization had just gone through a major change. The executive director had departed after 20 years; there had been a period of several months with an acting ED followed by a new, external ED appointment. The assessment took place only a month after the new ED was in position.

Types of Culture

The assessment we used to assess the organization's culture used questions that sought to determine and enumerate such organizational traits as symbols (such as images, things, events), organizational-espoused values and beliefs (for example, the mission statement, constitution, espoused goals of the ED, slogans). Then the espoused beliefs and values were compared with the symbols and culture identified through the written survey and staff interviews.

The written survey asked staff to answer questions related to the current culture and then asked how they would like to see the culture change. Responses were tabulated to determine which type of culture existed among the four metrics of organizational culture: hierarchy, adhocracy, clan, and market.

The hierarchy aspect of an organization refers to how structured, inflexible, and process-driven an organization is in the way it operates. At the opposite end of the scale, adhocracy refers to how flexible, informal, innovative, and dynamic an organization is. A clan culture supports a very friendly and social environment in which to work, while a market culture is often found in organizations that are results-oriented and sales-driven.

The assessment determined that the existing culture was very hierarchical and quite clannish. The staff also indicated, through the anonymous written survey, that they would prefer the culture to be more adhocratic and less hierarchical, while at the same time being slightly more market culture and clannish. This showed the positive and optimistic view of the staff towards change.

The process I used for assessing the culture involved conducting group employee interviews and written staff surveys, followed by analysis of the information. Staff responded to a series of prompts and questions regarding organizational symbols, organizational-espoused values, and beliefs. These responses were analyzed, creating a pattern showing comparisons between espoused belief/values (in the form of phrases or statements) with their associated symbols (both positive and negative), and related culture types (hierarchy, adhocracy, clan, and market).

[ILLUSTRATION OMITTED]

For a new leader or manager, understanding the organizational culture that is in place is essential for success in providing direction, especially when the direction is different from what has come before. Are staff willing and eager to take on new challenges and to follow a new direction, or will they provide passive or active resistance to any changes? What is important to people today, based on their view of where the organization is and where it should be? Where are there disconnects between espoused values, such as the mission statement, and the over symbols and culture type?

Kamis, 17 Januari 2008

The meaning of the Teacher's Professionalism in the eyes of Siswa

The achievement of the teacher at this time was busy is highlighted, both his connection with his appropriateness teach, his professionalism attitude, and certification that lately always become the warm discourse that often is discussed.
SOMEONE that decide to be professional the teacher can it was demanded formulate various available elements in himself, his environment as well as the side of his piety to one unity penunjang in the life of his profession.
Badudu-zain in the Big Dictionary Indonesian defines "professional" words as the person that that have the expertise and skills.
Because, education and training, mean professionalism of a teacher must be born berbarengan when he decides to become a teacher.
That become the problem am the existence of the opinion of the student's public that classifies the teacher into two groups characteristically that is different.
Still am in our memory when still in the school bench previously, about the teacher who be good and is not glad in teach.
Why can this matter happen in fact skills and the expertise has they have?
The student's view about professionalism of a teacher is them who can combine his scientific skill with skills send lesson material that will be given, so as whether that it was hoped from the activity studying-teach exact the target, effective and efficient.
Consider professionalism of a teacher should be not only focussed in one point of view, that is seen from the side of the appropriateness teach and certification.
Indeed two that the indispensable condition that must be owned, but on the other hand, the student's point of view would the teacher's professionalism then only don't be is gazed at an eye, they are the second side that feels directly his influence.
The professional teacher in the eyes of the student is them who can send lesson material by means of that is unique, attract, do not bore, can stimulate the motivation to study the student, to want to gaze at the student as the friend and to be able to touch their psychological aspect.
Intelligence of a teacher is then tested.
In this case, like how the teacher's capacity in reading the atmosphere of the class before the studying process takes place, read mood the student towards the lesson so as to know the "step" and the trick what will be used(sumber:Yusuf Wibisono)