PROFESI guru yang kini dipandang sebelah mata. Padahal, guru punya tugas berat, mengajar sekaligus juga mendidik anak bangsa. Guru sering dihadapkan pada persoalan antara materi dan dedikasi, sehingga mencari model guru ideal sangat sulit di zaman ini. Untuk itu ada baiknya menoleh karya sastra yang mengangkat tokoh guru dalam novel.
Guru sebagai tokoh utama dalam novel-novel Indonesia, bukanlah merupakan barang baru. Malahan dalam novel-novel tahun 1970-an sosok guru masih sering muncul. Misalnya dalam novel "Pergolakan" oleh Wildan Yatim, novel "Arus" oleh Aspar, "Sang Guru" karya Gerson Poyk dan "Pertemuan Dua Hati" karya Nh. Dini. Profil guru yang ditampilkan keempat pengarang ini tentu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada kehidupan guru sebagai orang tak berpunya, hidup pas-pasan karena gaji tak seberapa.
Perbedaan keempat novel itu terletak pada peranan yang dimainkan tokoh guru. Dalam novel Arus, sang guru tampil sebagai tokoh yang diombang-ambingkan, ke sana ke mari, ibarat orang yang terbawa arus. Tokoh guru "Pergolakan" ditampilkan sebagai pembawa pemikiran-pemikiran baru di kalangan orang kampung, sedangkan dalam "Sang Guru" tokoh guru itu sebagai seorang petualang, dan jarang terlibat dalam proses belajar mengajar di sekolah. Berbeda dengan "Pertemuan Dua Hati", justru peran guru di sekolah dan di luar sekolah sangat menonjol.
Dalam "Pertemuan Dua Hati", "Arus" dan "Pergolakan", semuanya menampilkan tokoh guru sekolah dasar, sedangkan "Sang Guru" menceritakan tokoh guru SMP. Membandingkan keempat novel yang memiliki tokoh utama sama tentu sangat menarik kalau dikaji berdasarkan teori sastra bandingan. Namun, karena kesempatan di media sangat terbatas, maka pembicaraan akan difokuskan untuk menemukan model guru ideal. Di antara keempat novel ini, akhirnya pilihan jatuh pada "Pertemuan Dua Hati". Novel lainnya itu juga tak kalah menariknya ditinjau dari sudut yang perbeda.
Ringkasan Cerita
Dalam "Pertemuan Dua Hati", dikisahkan seorang guru SD (Bu Suci) menghadapi tugas baru di Semarang karena mengikuti suaminya yang dimutasikan. Di tempat baru ini Bu Suci tidak kerasan menganggur, tidak lama kemudian ia melamar jadi guru lagi, dan diterima. Dalam tugas baru ini, Bu Suci menghadapi persoalan di kelas. Salah seorang murid, Waskito, sangat nakal, sering bolos dan suka membangkang. Anak ini memang terkenal di sekolah itu sebagai anak "sukar diatur".
Suatu hari, Bu Suci masuk kelas, mengabsen semua murid. Ternyata Waskito tidak masuk. Tetapi siswa yang lain tidak berani menjawabnya, setelah beberapa kali Bu Suci bertanya. Ia mengetahui bahwa Waskito memang sering bolos sekolah, akhirnya Bu Suci terpanggil hatinya untuk mengatasi masalah Waskito. Berdasarkan data yang diperolehnya, dapat disimpulkan bahwa, kenakalan Waskito disebabkan kurangnya perhatian orang tuanya, kawan-kawan sampai kepada gurunya yang tidak pernah mengacuhkan Waskito.
Akhirnya Bu Suci mengatur siasat untuk menghadapi Waskito dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Anehnya, niat Bu Suci ini kurang mendapat simpati dari rekan-rekan guru di sekolah tersebut. Guru-guru yang lain tadi berpendapat bahwa anak macam Waskito tidak mungkin bisa diperbaiki kelakuannya. Menurut mereka, lebih baik dikeluarkan dari sekolah. Menghadapi masalah itu, Bu Suci meminta waktu kepada kepala sekolah selama tiga bulan untuk menangani Waskito. Kalau dalam tiga bulan tidak berhasil, Bu Suci berjanji kepada kepala sekolah dan guru lainnya, ia rela dikeluarkan sebagai guru.
Bu Suci mengadakan pendekatan dengan berbagai cara, melebihi anak kandungnya sendiri. Ia mendatangi rumah Waskito, sebaliknya Waskito diajak ke rumah Bu Suci untuk bermain bersama anaknya. Bu Suci juga mengunjungi kakek dan nenek Waskito, karena orang tuanya ada di luar negeri. Sekali waktu, Bu Suci mengajak Waskito memancing ke sungai. Anak yang kurang mendapat perhatian ini sangat senang, karena makan ikan hasil jerih payahnya sendiri. Waskito dibuatkan kolam renang di halaman rumahnya, tetapi ia lebih tertarik mandi di sungai dengan air kotor karena dapat bermain dengan teman-temannya.
Tak sampai tiga bulan, perubahan besar telah terjadi pada diri Waskito. Ia menjadi anak yang baik. Bahkan ketika diadakan lomba kerja tangan antar siswa di sekolahnya, Waskito meraih juara pertama. Semua itu berkat bimbingan Bu Suci yang penuh kasih sayang dalam mendidiknya. Bu Suci merasa sangat berbahagia, belum pernah ia menghadapi tantangan begitu besar dan berhasil mengatasinya. Kebahagiaan itu tidak ternilai harganya, apalagi dibandingkan dengan gaji seorang guru.
Bukan Khayalan
Walaupun guru sebagai tokoh dalam cerita novel, tetapi sosok Bu Suci itu ternyata ada di dalam dunia kenyataan. Hal ini diakui pengarang Nh. Dini, bahwa Bu Suci itu adalah teman baiknya. Menurut pengakuan Nh. Dini dalam suratnya tertanggal 17 April 1996, semua kisah dalam "Pertemuan Dua Hati" adalah kejadian sesungguhnya. Memang, demikian sikap guru yang diharapkan seperti Bu Suci. Ia sangat tertarik dengan cerita temannya itu, sehingga ditulisnya dalam sebuah novel.
Judul "Pertemuan Dua Hati" hampir saja membuat pembaca terkecoh. Sepintas dengan judul itu, orang akan segera menafsirkan bahwa cerita itu akan berkisah tentang percintaan muda-mudi, seperti layaknya sebuah novel populer. Namun kesan itu sangat keliru karena yang dimaksud pengarangnya adalah pertemuan dua hati antara si guru dengan murid. Novel yang digarap berdasarkan kisah nyata ini, merupakan ciri khas dari Nh. Dini setelah sukses dengan novel "Pada Sebuah Kapal", "Hati yang Damai" dan "Namaku Hiroko".
Di tengah hiruk pikuk masalah pendidikan karena dekadensi moral, sosok Bu Suci dapat dijadikan cermin. Profil guru seperti ini banyak diidamkan oleh murid. Bu Suci, tokoh fakta dalam dunia fiksi ini, sadar kalau menjadi seorang guru bukan hanya mengajar di depan kelas saja. Tetapi harus juga menyelami sejauh mungkin perkembangan anak didiknya, pergaulan anak didik serta latar belakang kehidupan keluarganya. Bagi para guru dan terutama orang tua, Bu Suci yang hanya guru SD tamatan SPG, telah membuka mata kita, apa dan bagaimana sesungguhnya profesi guru.
Artikel by: I Nyoman Suaka,
IKIP Saraswati Tabanan balipost.co.id
Menurut pendapat saya guru ideal itu mempunyai ciri-ciri
:jujur,berwibawa,tanggung jawab,percaya diri,solidaritas,kreatif dan berdedikasi tinggi.mudah-mudahan puas dengan pendapat saya
Guru ideal? itu topik ysng bagus untuk dibicarakan. Kita ndak usah muluk-muluk tentang kriteria apa ideal itu. Idealnya si A belum tentu sama dengan ideal si B. jadi dapat dikatakan ideal tergantung dari posisinya masing-masing. Akan tetapi yang namanya ideal ada standarnya. Seperti motor yang bagus itu idealnya bagaimana? untuk masalah guru nich, kita ikuti aja kata Ki Hajar Dewantara ; Ing ngarso sung tuladha, Ing madya bangun karso, Tut wuri handayani. Tiga hal itu bila dijabarkan akan membawa arahan kita dalam mencapai titik temu memahami seorang guru.
Saran/pendapat pertama dan kedua sangat bagus, yakni dengan ditandai adanya tipologi atau karakteristik kepribadian tertentu yang dimiliki guru. Memang secara empirik, idealitas guru tergantung dari konteks, bahkan tergantung dari bagaimana para siswa menilai gurunya karena siswalah user utama yang bisa menilai akan aneka kelebihan yang dimiliki guru. Akan tetapi ada standar normatif. Coba lihat pada UU no 14/2005 mengenai 4 syarat kompetensi guru, serta lihat rumusan dari komisi khusus ditjend Dikti tentang sosok utuh guru profesional. Di sana tertera yakni guru profesional itu: (1) memahami peserta didik, (2) memiliki kemampuan pembelajaran yang mendidik, (3) menguasai bidang studi, dan (4) mampu mengembangkan kemapuan profesionalnya secara berlenajutan. Persoalannya adalah sudahkan kita memilikihal-hal tersebut? Maka menjadi PR kita bersama bahwa menjadi guru adalah adanya kewajiban untuk selalu meningkatkan mutu diri kita secara berkelanjutan menuju pada sosok guru yang diidealkan oleh semua pihak: sisiwa, teman sesama, orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah.
Kita adalah makhluk sosial, jadi di manapun dan kapanpun kita berada harus mampu menyesuaikan diri
sebagai masyarakat yang peka terhadap keadaan. Namun demikian kita harus tetap mengedepankan perilaku yang jujur, adil, bijaksana, kharismatik, dan selalu berusaha menjadi tauladan untuk keluarga terutama dan masyarakat pada umumnya.Dan jangan lupa guru harus dapat digugu dan ditiru,khususnya untuk anak didik kita secara umum warga sekolah di mana tempat kita beraktifitas serta loyal terhadap pimpinan kita (Dalam batas-batas kewajaran).
Terima kasih dan terima kasih… wassalam.
guru ideal adalah guru yang menjadi panutan baik di sekolah maupun di masyarakat,berkeinginan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam berbagai hal yang positif terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
bagi saya guru yang ideal itu guru yang diterima, disayang, dan selalu ditunggu-tunggu muridnya, murid mengerti dan lebih-lebih paham apa yang kita berikan, dan ujung-ujungnya nilai yang dihasilkan bagus. Untuk menjadi yang seperti ini saja saya pikir susah-susah gampang. selama ini saya merasa mengajar sudah “setengah mati”, sejelas-jelasnya menerangkan dan mengarahkan, sebisa mungkin mempratekkan “10 kriteria guru yang saya(siswa) senangi” tapi ternyata hasil nilainya……(masyarakat kita masih mengidolakan nilai) Jadi menurut saya guru ideal itu tergantung tempat, anak didik, dan masyarakat serta hasil nilai yang diperoleh.
Guru ideal adalah guru yang profesional, bermartabat, dan sejahtera.
Menurut saya guru yang ideal itu adalah guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi terhadap tugasnya sebagai guru, dimana guru tidak hanya sekedar mentransfer materi pelajaran,tetapi guru yang ideal itu tau bagaimana cara membuat siswa-siswanya mengerti terhadap apa yang disampaikan. selain itu, guru yang ideal itu adalah sosok yang bisa menjadi teman bagi para siswanya,yang dapat memahami kondisi siswa-siswanya, sehingga antara guru dan siswa terjalin hubungan yang baik. Dengan hubungan yang baik,otomatis akan tercipta komunikasi yang baik antara siswa dan guru sehingga guru dapat lebih mudah menyelami dunia siswa untuk memberikan pengajaran yang ideal dan dapat mendidik para siswanya untuk menjadi yang lebih baik, karena tugas guru tidak hanya mengajar,tetapi juga mendidik(Sumber: Klinik Pembelajaran.com)